KARAKTERISTIK MANUSIA KOMUNIKAN
Pemeran utama dalam proses komunikasi adalah manusia. Psikolog
memandang komunikasi pada perilaku manusia komunikan. Psikolog membahas
bagaimana manusia memproses pesan yang diterimanya, bagaimana cara berfikir dan
cara melihat manusia dipengaruhi oleh lambang-lambang yang dimiliki. Fokus
psikologi adalah komunikasi manusia komunikan.
2.1. Konsepsi Psikologi tentang Manusia
Teori persuasi berlandaskan konsepsi psikoanalisis yang menyatakan
bahwa manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam
(Homo Volens). Teori “jarum hipodermik”(media
massa sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia) dilandasi konsep behaviorisme
yang memandang manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh lingkungan (Homo Mechanicus). Teori pengolahan
informasi dibentuk oleh konsepsi psikologi kognitif yang melihat manusia
sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang
diterimanya (Homo Sapiens).
Teori-teori komunikasi interpersonal banyak dipengaruhi konsep psikologi
humanistis yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan
strategi transaksional dengan lingkungannya (Homo
Ludens). Empat pendekatan psikologi yang paling dominan adalah
psikoanalisis, behaviorisme, psikologi kognitif, dan psikologi humanistis.
Konsepsi Manusia dalam Psikoanalisis
Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia merupakan hasil interaksi
tiga subsistem dalam kepribadian manusia:Id, Ego, dan Superego.
- Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan –dorongan biologis dan pusat
instink manusia. Dalam diri manusia, terdapat dua instink
yang dominan:
a. Libido Instink reproduktif yang menyediakan energi
dasar untuk kegiatan-kegiatan yang konstruktif. Libido disebut sebagai instink
kehidupan;
b. Thanatos Instink destruktif yang agresif.
Thanatos disebut sebagai instink
kematian. Semua motif manusia adalah gabungan dari libido dan thanatos. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan
(pleasure principle), yakni ingin segera
memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain, id adalah tabiat hewani manusia.
2. Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani
dengan tuntutan rasional dan realistik.Egolah yang menyebabkan manusia mampu
menundukkan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud yang rasional (pada pribadi
yang normal). Ego bergerak berdasarkan prinsip realitas (reality principle).
3. Superego adalah hati nurani (conscience) yang merupakan
internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Superego
memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan ke alam bawah sadar.
Id dan superego
berada dalam bawah sadar manusia. Ego
berada di tengah, antara memenuhi desakan id dan peraturan superego. Secara singkat, dalam
psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (id),
komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego); atau unsur animal,
rasional, dan moral (hewani, akali, dan nilai).
Konsepsi Manusia dalam Behaviorisme
Behaviorisme menganalisa perilaku
yang tampak, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori behavioris
juga dikenal dengan nama teori belajar. Belajar artinya perubahan perilaku
manusia disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Dari situlah timbul konsep “manusia
mesin” (Homo Mechanicus).
Menurut kaum empiris, pada waktu
lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Secara psikologis, ini berarti
seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh
pengalaman indrawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku
tetapi disebabkan oleh perilaku masa lalu.
Hedonisme memandang manusia sebagai makhluk
yang bergerak untuk memenuhi kebutuhannya, mencari kesenangan, dan menghindari
penderitaan. Utilititarianisme
memandang seluruh perilaku manusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman.
Bila empirisme digabung dengan utilitarianisme dan hedonisme, maka akan muncul
apa yang disebut behaviorisme (Goldstein, 1980:17).
Kaum behavioris berpendirian: manusia
dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil
pengalaman; dan perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk
memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan.
Watson dan Rosalie Rayner melalui sebuah eksperimen telah
membuktikan betapa mudahnya membentuk atau mengendalikan manusia dan melahirkan
metode pelaziman klasik (classical conditioning).
Pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli kondisi dengan
stimuli tertentu (yang
terkondisikan/unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu (unconditioned respons).
Jenis pelaziman lain ditemukan oleh Skinner, yaitu
operant conditioning. Dimana perilaku manusia dipengaruhi oleh proses
peneguhan. Proses memperteguh respons yang baru dengan mengasosiasikannya pada
stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement). Menurut Bandura, tidak semua perilaku dapat dijelaskan
dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Menurut Bandura,
belajar terjadi karena proses peniruan (imitation).
Dengan kata lain, melakukan suatu perilaku ditentukan oleh peneguhan, sedangkan
kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh peniruan.
Konsepsi Manusia dalam Psikologi Kognitif
Dalam psikologi kognitif, manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu
berusaha memahami lingkungannya dan makhluk yang selalu berfikir (Homo Sapiens).
Descartes dan Kant menyimpulkan bahwa jiwa (mind) yang menjadi alat
utama pengetahuan, bukan alat indra. Jiwa menafsirkan pengalaman indrawi secara
aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna.
Manusia tidak memberikan respons terhadap stimuli secara otomatis. Manusialah
yang menentukan makna stimuli itu, bukan stimui itu sendiri.
Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Dari
Lewin terkenal rumus: B= f (P,E), artinya Behavior (perilaku) adalah hasil
interaksi antara person (diri orang tersebut) dengan environment (lingkungan
psikologisnya). Lewin juga menciptakan konsep dinamika kelompok, yaitu dalam
kelompok, individu menjadi bagian yang saling berkaitan dengan anggota kelompok
yang lain. Sejak pertengahan tahun 1950-an, berkembang penelitian tentang
perubahan sikap dengan kerangka teoritis manusia sebagai pencari konsistensi
kognitif. Dimana manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha menjaga
keajegan dalam sistem kepercayaannya dan diantara sistem kepercayaannya dengan
perilaku, contohnya adalah teori disonansi kognitif.
Disonansi artinya ketidakcocokkan antara dua kognisi (pengetahuan).
Teori disonansi menyatakan bahwa orang akan mencari informasi yang mengurangi
disonansi dan menghindarkan informasi yang menambah disonansi. Pada awal tahun
1970-an, teori disonansi dikritik dan muncul konsepsi manusia sebagai pengolah
informasi. Dalam konsepsi ini, manusia
bergeser dari orang yang suka mencari justifikasi atau membela diri menjadi
orang yang secara sadar memecahkan persoalan. Perilaku manusia dipandang
sebagai produk strategi pengolahan informasi yang rasional. Contoh perspektif
ini adalah teori atribusi. Teori ini menganggap manusia sebagai ilmuwan yang
naif, yang memahami manusia dengan metode ilmiah yang elementer. Kenyataannya,
manusia tidak begitu rasional dalam memandang sesuatu. Seringkali malah penilaian
orang didasarkan pada data yang kurang, lalu dikombinasikan dan diwarnai oleh prakonsepsi.
Dimana manusia menggunakan prinsip-prinsip umum dalam menentukan keputusan.
Kahneman dan Tversky (1974) menyebutnya dalil-dalil kognitif (cognitive
heuristics).
Manusia dalam Konsepsi Psikologi Humanistik
Psikologi humanistik dianggap sebagai revolusi ketiga dalam
psikologi. Revolusi pertama dan kedua adalah psikoanalisis dan behaviorisme.
Psikologi humanistik menjelaskan aspek eksistensi manusia yang positif dan
menentukan, seperti cinta, kreativitas, nilai, makna, dan pertumbuhan pribadi.
“Humanistic psychology is not just the study of
„human being‟; it is a commitment to human becoming,” tulis Floyd W. Matson (1973:19).
Psikologi humanistik mengambil dari fenomenologi dan
eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia kehidupan”
yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subyektif. Menurut Alfreud Schutz,
pengalaman subyektif dikomunikasikan oleh faktor sosial dalam proses
intersubyektifitas. Intersubyektifitas diungkapkan pada eksistensialisme dalam
hubungan dengan orang lain (I-thou
Relationship). I-thou Relationship
menunjukkan hubungan pribadi dengan pribadi, bukan pribadi dengan benda; subjek
dengan subjek, bukan subjek dengan objek. Sedangkan eksistensialisme menekankan
pentingnya kewajiban individu pada sesama manusia. Frankl menyimpulkan
asumsi-asumsi psikologi humanistik: keunikan manusia, pentingnya nilai dan
makna, serta kemampuan manusia untuk mengembangkan dirinya. Sedangkan pandangan
Carl Rogers menyebutkan:
ü Setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi
dimana dia – sang Aku, Ku, atau Diriku (the I, me, or myself) – menjadi pusat.
ü Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan
mengaktualisasikan diri.
ü Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang
dirinya dan dunianya.
ü Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan
diri.
ü Kecenderungan batiniah manusia adalah menuju kesehatan dan keutuhan
diri.
2.2. Faktor-faktor Personal yang Mempengaruhi Perilaku Manusia
Menurut Edward E. Sampson (1976) terdapat dua perspektif, yaitu
perspektif yang berpusat pada persona
(person-centered perspective) dan perspektif yang berpusat pada situasi (situation-centered
perspective).
Perspektif yang berpusat pada persona mempertanyakan faktor-faktor
internal apakah, baik berupa sikap, instink, motif, kepribadian, sistem kognitif
yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis besar ada dua faktor yang
mempengaruhi perspektif yang berpusat
pada persona:
a. Faktor Biologis
Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan
berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Bahwa warisan biologis manusia
menentukan perilakunya. Aliran sosiobiologi (Wilson, 1975) memandang segala
kegiatan manusia berasal dari struktur biologinya.
Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang
sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia (epigenetic rules). Struktur
genetis, misalnya mempengaruhi kecerdasan, kemampuan sensasi, dan emosi. Sistem
saraf mengatur pekerjaan otak dan proses pengolahan informasi dalam jiwa
manusia. Sistem hormonal bukan saja mempengaruhi mekanisme biologis, tetapi
juga proses psikologis. Pentingnya pengaruh biologis terhadap perilaku manusia
dapat dilihat dalam dua hal berikut ini:
Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan
bawaan manusia, dan bukan pengaruh lingkungan atau situasi.
Diakui adanya faktor-faktor biologis yang mendorong perilaku
manusia, yang biasa disebut motif biologis.
b. Faktor Sosiopsikologis
Dari proses sosial, manusia memperoleh karakteristik yang mempengaruhi
perilakunya, yaitu:
perilakunya, yaitu:
Komponen Afektif
Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis.
Komponen afektif terdiri dari motif sosiogenis, sikap, dan emosi.
Komponen Kognitif
Komponen kognitif adalah aspek intelektual, yang berkaitan dengan
apa yang diketahui manusia. Kepercayaan adalah komponen kognitif dari fakor sosiopsikologi.
Komponen Konatif Komponen konatif adalah aspek volisional, yang
berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak. Komponen konatif dari
faktor sosiopsikologis terdiri dari kebiasaan dan kemauan.
2.3. Faktor-faktor Situasional yang Mempengaruhi Perilaku Manusia
Delgado menyimpulkan bahwa respons otak sangat dipengaruhi oleh
“setting” atau suasana yang melingkupi organisme (Packard, 1978:45). Edward G.
Sampson merangkumkan seluruh faktor situasional sebagai berikut:
I. Aspek-aspek objektif dari lingkungan
a. Faktor ekologis
Kaum determinisme lingkungan menyatakan bahwa keadaan alam
mempengaruhi gaya hidup dan perilaku. Yang termasuk faktor ekologis:
Faktor geografis
Faktor iklim dan meteorologis
b. Faktor desain dan arsitektural
Suatu rancangan arsitektur dapat mempengaruhi perilaku komunikasi
diantara orang-orang yang hidup dalam naungan arsitektural tertentu.
c. Faktor temporal
Waktu dapat mempengaruhi bioritma manusia dalam kehidupan.
d. Analisis suasana perilaku
Lingkungan dapat memberikan efek-efek tertentu terhadap perilaku
manusia.
e. Faktor teknologis
Revolusi teknologi seringkali disusul dengan revolusi dalam perilaku
sosial.
f. Faktor sosial
Sistem peranan yang ditetapkan dalam suatu masyarakat, struktur
kelompok dan organisasi, karakteristik populasi, adalah faktor-faktor sosial
yang menata perilaku manusia. Secara singkat, pengelompokkannya adalah sebagai
berikut:
Struktur organisasi
Sistem peranan
Struktur kelompok
Karakteristik populasi
II. Lingkungan psikososial
Persepsi kita tentang sejauh mana lingkungan memuaskan atau
mengecewakan kita, akan mempengaruhi perilaku kita dalam lingkungan itu. Berikut
ini adalah jenis-jenis lingkungan
psikososial:
a. Iklim organisasi dan kelompok
b. Ethos dan iklim institusional dan kultural
III. Stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku
Terdapat situasi yang memberikan rentangan kelayakan perilaku
(behavioral appopriateness), seperti situasi di taman dan situasi yang
memberikan kendala pada perilaku, misalnya gereja. Situasi yang permisif
memungkinkan manusia untuk melakukan banyak hal tapa harus merasa malu. Sebaliknya,
situasi restriktif menghambat orang untuk berperilaku sekehendak hatinya.
Jenis-jenis stimuli yang
mendorong dan memperteguh perilaku manusia adalah:
mendorong dan memperteguh perilaku manusia adalah:
a. Orang lain
b. Situasi pendorong perilaku (Sampson, 1976:13-14)
Komentar
Posting Komentar
silahkan komen ya