Tips dan Triks Menjadi Pemimpin Yang Super
Assalamu'alikum Wr. Wb
Sebenarnya menjadi seorang pemimpin yang super sangatlah simple,
dimana kita harus mengikuti wahyu-wahyu ALLAH SWT yang sudah
dikomplitkan tertera dalam Al-Qur'anul Karim. Tapi apalah faktanya? kita
enggan meempelajarinya. Tapi mudah-mudahan dengan artikel ini kita
semua bisa memperlajarinya karena artikel ini sengaja saya rangkum dari
perjalanan Rasulullah Muhammad SAW dan juga sahabat-sahabatnya yang
super (Khulafaurasyidin).
1. Meneladani Kepemimpinan Rasulullah SAW
Pengantar
Allah
SWT telah menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan terbaik bagi kaum
Muslim dalam segala hal, mulai dari masalah rumah tangga hingga masalah
negara. Sayang, banyak umatnya enggan meneladani beliau. Mereka lebih
memilih untuk
mencontoh dan mengikuti figur lain—termasuk dalam masalah kepemimpinan
dalam konteks kenegaraan—yang sikap dan pemikirannya justru bertentangan dengan Islam.
Sifat-sifat Rasulullah
Tak
terbilang pujian yang disematkan kepada Rasulullah saw. atas kesuksesan
beliau dalam memimpin umatnya. Bukan hanya dari umat Islam, pujian juga
dari orang-orang kafir yang memusuhinya
.
Kesuksesan tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari pribadi beliau
yang penuh dengan sifat mulia dan sistem kepemimpinan yang dibimbing
wahyu. Beberapa sifat beliau dalam aspek kepemimpinan antara lain: Pertama,
komitmen yang tinggi dalam mewujudkan risalah dalam kehidupan.
Rasulullah saw. tidak sekadar diperintahkan untuk menyampaikan risalah
Islam yang diwahyukan kepadanya, namun juga diperintahkan untuk
menerapkannya sehingga menjadi dominan dalam kehidupan ini. Berbagai
cobaan dan tantangan menghadang beliau, namun langkahnya tidak pernah
surut.
Sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam, ketika Rasulullah menyampaikan
Islam kepada orang-orang Makkah, reaksi mereka biasa saja. Namun, ketika
beliau menyebut dan mengkritik sesembahan mereka, Rasul pun dikecam dan
ditentang, bahkan mereka bersepakat untuk memusuhinya. Sejumlah
delegasi Qurays juga mendatangi paman beliau agar menghentikan sikap
keponakannya itu. Jika tidak, mereka sendiri yang akan mencegahnya.
Namun, Rasulullah tetap tak bergeming. Beliau hanya mengatakan, “Demi
Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kanan saya dan
bulan ditangan kiri saya, sungguh saya tidak akan meninggalkannya hingga
Allah memenangkan urusan (agama) ini atau saya mati karenanya.”1
Hal
yang sama juga tampak pada saat beliau hendak ke Makkah, kemudian
beliau melakukan Perjanjian Hudaibiyah. Orang-orang Qurays berkumpul
untuk mencegah kedatangan beliau. Mendengar hal tersebut beliau
bersabda: “…Demi
Allah, saya akan selalu berjihad memperjuangkan apa yang Allah utus
saya untuk hal itu hingga Ia memenangkannya atau leher ini terputus
(mati).”2
Inilah visi utama (al-qadhiyyah al-mashîriyyah) Rasulullah saw. Dalam memenangkan Islam atas seluruh agama dan ideologi lainnya.
Kedua,
berani dalam menjalankan tugas yang menjadi kewajibannya. Keberanian
beliau tampak jelas dalam setiap aktivitas yang diterjuninya, baik dalam
urusan militer maupun non-militer.3Beliau
merupakan sosok yang berani menghadapi berbagai situasi yang berbahaya
meski kadang mengancam jiwanya. Ali ra. beliau berkata: “Kamu telah menyaksikan kami dalam perang Badar di mana kami berlindung di balik Rasulullah saw. Beliau adalah orang yang paling dekat dengan musuh. Pada hari itu beliau adalah orang yang paling banyak menderita.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Syuaib al-Arnauth)
Ketiga,
hidup bersahaja. Meski beliau merupakan kepala negara, beliau tetap
bersahaja dalam menjalani kehidupannya. Padahal dengan kekuasaan yang
dimilikinya beliau dapat saja berperilaku layaknya pemimpin
negeri-negeri Islam saat ini yang bergelimang harta dan fasilitas namun
abai terhadap rakyatnya. Bahkan ketika meninggal dunia, baju besi beliau
masih di tangan seorang Yahudi yang sebelumnya beliau gadaikan untuk
mendapatkan makanan senilai 30 sha’gandum. Hal yang sama juga berlaku pada keluarga beliau. Hasan telah meriwayatkan bahwaRasulullah pernah bersabda, “Tidak ada makanan sebanyak satu sha’ yang tinggal sampai sore hari di keluarga Muhammad padahal jumlahnya ada sembilan rumah.”4
Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah saw. duduk di atas tanah, makan di atas tanah, mengikat kambing dan memenuhi undangan para budak.” (HR at-Thabrani dan menurut al-Haitsami sanad hadis ini hasan).
Keempat,
melayani dengan kasih sayang. Sikap kasih sayang beliau tidak terbatas
hanya kepada keluarga dan para sahabatnya, namun juga kepada umatnya.
Bahkan penghormatan beliau terhadap non-Muslim yang hidup dalam Negara
Islam juga sangat tinggi. Beliau bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Siapa
saja yang membunuh orang mu’ahad (non-Muslim yang terikat perjanjian
dengan Negara Islam) tidak akan mencium bau surga, padahal baunya
tercium dari jarak 40 tahun perjalanan(HR al-Bukhari dan Ibnu Majah).
Kelima,
tegas dalam menerapkan hukum Allah SWT. Rasulullah saw. tidak pernah
berpaling sedikit pun dari apa yang diwahyukan Allah, termasuk dalam
menerapkan aturan syariah dalam kehidupan publik. Ketika ada seorang
wanita terpandang dari Makzumiyah yang mencuri, sejumlah orang melalui
perantara Usamah bin Zaid meminta pengampunan kepada Rasulullah saw.
Namun, beliau menolak dan bersabda:
وَاللَّهِ لَوْ كَانَتْ فَاطِمَةُ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Demi Allah, andai Fatimah mencuri, niscaya akan saya potong tangannya. (HR Muslim).
Ketegasan
lain terhadap pelaksanaan syariah dan tanpa kompromi juga ditunjukkan
oleh sikap beliau yang menolak permintaan delegasi Tsaqif yang akan
masuk Islam, namun dengan sejumlah syarat. Mereka meminta agar
berhala-berhala mereka tidak dihancurkan hingga tiga tahun. Namun, hal
itu ditolak oleh beliau. Mereka lalu mereka meminta ditunda setahun,
tetapi juga ditolak. Bahkan mereka meminta sebulan, namun lagi-lagi
tidak dikabulkan. Mereka lalu memohon agar tidak dibebankan untuk
menjalankan shalat, namun lagi-lagi ditolak oleh beliau. Beliau hanya
menyetujui satu syarat—yang bersifat teknis—yakni agar berhala-berhala
mereka tidak dihancurkan oleh mereka sendiri. Beliau lalu mengutus Abu
Sufyan bin Harb dan Mughirah bin Syu’bah untuk menghancurkan
berhala-berhala tersebut.5
Keenam,
ahli strategi yang ulung. Rasulullah juga dikenal memiliki kecanggihan
strategi, baik dalam urusan pemerintahan maupun militer. Dengan
kekuataan SDM yang terbatas, beliau dapat menaklukkan jazirah Arab dalam
waktu singkat. Untuk menaklukkan Khaibar dan sejumlah suku-suku yang
bersekutu dengan Suku Qurays, beliau terlebih dulu mengikat kafir Qurays
dengan Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah yang juga dibantu oleh
Sahabatnya menerapkan strategi perang yang belum masyhur di jazirah Arab
namun efektif mengalahkan musuh, seperti penggunaan parit pada Perang
Ahzab, pengepungan Makkah dengan empat jalur penyerangan, dan penggunaandababah dan manjaniq untuk meruntuhkan benteng-benteng Bani Tsaqif dan Thaif.
Sebagai Kepala Negara
Seiring
dengan gencarnya ide sekularisme di neger-negeri Islam, agama Islam
lalu didoktrinkan sebagai agama yang hanya menjelaskan masalah spiritual. Rasulullah juga dianggap sebagai pemimpin spiritual an sich yang
hanya menyampaikan risalah dan bukan sebagai kepala negara. Padahal
dalam penelusuran berbagai sisi kehidupan Rasulullah saw., doktrin
tersebut sama sekali tidak memiliki pijakan. Sejumlah langkah-langkah
beliau pasca hijrah ke Madinah dengan jelas mencerminkan bahwa beliau
adalah seorang kepala negara dan bahkan secara menyeluruh hal tersebut
diriwayatkan secara mutawir.6 Langkah-langkah tersebut antara lain:
Pertama,
beliau melakukan pengaturan dan perjanjian dengan masyarakat Madinah.
Dalam Piagam Madinah secara tegas dinyatakan bahwa persoalan apapun yang
dihadapi oleh orang-orang beriman maupun orang-orang Yahudi harus
dikembalikan kepada Allah dan Muhammad saw.7 Beliau
juga mengadakan perjanjian dengan masyarakat di luar Madinah, yaitu
dengan Bani Dhamrah, Bani Mudlij, Qurays, Penduduk Ailah, Jarba’ dan
Adzrah.8
Kedua, beliau mengangkat sejumlah Sahabat untuk menjadi pejabat pemerintahan Mereka antara lain: (a) Mu’awin: Abu Bakar dan Umar; (b) Wali: ‘Atab bin Usaid (Makkah), Badzan bin Sasan (Yaman), Muadz bin Jabal (Janad); (c) ‘Amil:
Said bin al-’Ash (Shan’a), Zayyad bin Lubaid (Hadramaut), Abu Musa
al-Asy’ary (Zabid dan ‘Aden), Amru bin ‘Ash (‘Amman), Adi bin Hatim
(Thai’), ‘Ala bin Hadrami (Bahrain); (d) Qadhi: Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, Abu Musa al-’Asy’ary (Yaman), Abdullah bin Naufal (Madinah); (e) Sekretaris Administratif: Ali bin Abi Thalib (perjanjian dan perdamaian), Mu’aiqib (ghanîmah),
Hudzaifah al-Yaman (hasil panen Hijaz), Zubair bin Awwam (harta zakat),
Mughirah bin Syu’bah (hutang-piutang dan muamalah), Syurahbil bin
Hasanah (stempel untuk raja-raja), (f) Majelis Ummah: Hamzah, Abu Bakar, Umar, Ja’far, Ali dll.9
Ketiga,
beliau mengutus sejumlah Sahabat untuk menyampaikan seruan kepada
raja-raja di luar Madinah agar masuk Islam. Mereka antara lain: Dihyah
bin Khalifah (kepada Kaisar Romawi), Abdullah bin Hudzafah (kepada
Kaisar Kerajaan Persia), Amr bin Umayyah (kepada Najasyi Raja Habasyah),
Hatib bin Abi Balta’ah (kepada Raja Iskandariyyah), Amru bin ‘Ash
(kepada Raja Uman) Salith bin Amru (kepada raja Yamamah), ‘Ala bin
Hadramy (kepada Raja Bahrain) Syuja’ bin Wahab (kepada Raja di daerah
Syam).10
Keempat,
beliau mengorganisasi peperangan, baik yang dipimpin langsung oleh
beliau atau para Sahabatnya. Menurut catatan Khaththab, perang (gazwah) yang dipimpin sendiri oleh Rasulullah sebanyak 28 kali,11 sementara detasemen (saraya) dan perang yang dipimpin oleh sahabat sebanyak 15 kali.12 Dengan demikian selama 10 tahun kepemimpinan beliau di Madinah, rata-rata dalam setahun ada 4 kali pengerahan pasukan.
Kelima, beliau memutuskan berbagai perkara di Madinah, baik atas kaum Muslim maupun non-Muslim. Nafi’ bertutur: “Rasulullah pernah merajam seorang laki-laki dan perempuan Yahudi.”(HR at-Tirmidzi dan menurut beliau hasan shahih).
Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw. pernah membunuh seorang Yahudi karena membunuh seorang jariyah yang bermaksud mengambil perhiasannya.” (HR al-Bukhari).
Keenam,
beliau melakukan berbagai aktivitas pelayan publik seperti pengawasan
pasar yang beliau lakukan secara langsung. Beliau mengangkat qâdhi hisbah seperti
Said bin Said di pasar Makkah. Samra binti Nuhaik bertugas melakukan
amar makruf dan nahi mungkar di pasar serta menghukum pelaku kemungkaran
dengan tongkat yang dibawanya.13 Rasulullah juga mengatur masalah kesehatan rakyatnya seperti pelayanan kesehatan bagi mereka yang sakit,14 karantina penyakit dan manajemen kesehatan lingkungan.15
Wajib Meneladani Rasulullah saw
Dengan
fakta di atas jelas bahwa Rasulullah saw. tidak hanya seorang nabi yang
hanya mendakwahkan Islam, namun juga seorang kepala negara yang
mempraktikkan Islam dalam konteks kenegaraan. Kaum Muslim sepeninggal
beliau juga melanjutkan sistem pemerintahan tersebut hingga runtuh tahun
1924.
Meneladani
Rasulullah dalam segala hal, termasuk dalam sistem kepemimpinan,
merupakan sebuah kewajiban. Hal ini secara tegas dinyatakan Allah dalam
sejumlah ayat, seperti (QS al-Hasyr [59]: 7). Ayat ini menjelaskan bahwa
segala yang dibawa Rasulullah saw.—termasuk sistem
pemerintahannya—wajib diambil. Sebaliknya, apapun yang dilarang beliau,
tidak boleh diikuti. Indikasi wajibnya mengambil segala yang berasal
dari Rasul dan haram mengambil selain yang diajarkannya adalah firman
Allah SWT:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya berhati-hati terhadap fitnah atau azab yang pedih yang akan menimpa mereka (QS an-Nur [24]: 63).
Penutup
Kesuksesan
Rasulullah saw. dalam memimpin bukan hanya karena kepribadian beliau
yang sangat mulia, namun sistem yang dijalankannya juga berdasarkan
tuntunan wahyu. Oleh karena itu, pemimpin manapun yang mengidamkan
kesuksesan dalam mengatur pemerintahan, namun tidak mengikuti jalan yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., tidak hanya akan menuai
kegagalan dan kesengsaraan di dunia, namun juga azab yang pedih di
akhirat kelak. Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. [Muhammad Ishaq ;Anggota Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI]
Catatan kaki:
1 Abdul Salam Harun, Tahzîb Sîrah Ibnu Hisyâm, Muassasah ar-Risalah (1985), hlm. 58
2 Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, II/309, al-Maktab as-Syamilah
3 Mahmud Syith Khattab, Ar-Rasûl al-Qâid, Dar al-Fikr (2002), hlm. 436.
4 Ibid., hlm. 460.
5 Abdul Salam Harun. Op. cit., hlm. 297.
6 Taqiyuddin an-Nabhany, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah (2002), hal. 127
7 Muh. Rawwas Qal’ah Jie, Sîrah Nabawiyyah, Al Azhar Press (2007), hlm. 162-165.
8 Taqiyuddin an-Nabhany, Op. cit., hlm. 123.
9 Ibid., hlm. 123.
10 Abdul Salam Harun. Op. cit., hlm. 328.
11 Khattab, Op.cit., hlm. 420.
12 Khattab, Op.cit., hlm. 322.
13 Al- Kattany, At-Tarâtîbu al-Idâriyyah, Syirkah al-Arkam bin Abi al-Arkam (tt), hlm. 239.
14 Ibid., hlm. 256.
15 Ibid., hlm. 358.
(Sumber: hizbut-tahrir.or.id)
2. Meneladani Kepemimpinan Khulafaurasyidin)
Yang
termasuk Khulafaur Rasyidin ialah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali
bin Abi Thalib.
A. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq
1. Musyawarah
Apabila terjadi suatu perkara Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq mencari hukumnya dalam kitab Allah, bila tidak memperolehnya, ia mempelajari bagaimana Rosulullah SAW bertindak dalam perkara seperti ini. Dan bila ia tidak menemukannya, ia mengajak tokoh-tokoh yang terbaik untuk bermusyawarah.
2. Sikap Tegas
Bersikap tegas dalam menghadapi orang-orang yang murtad, orang-orang yang mengaku sebagai nabi dan orang-orang yang tidak membayar zakat.
3. Terbuka untuk kritik
Hal ini dapat terlihat sebagaimana dalam khutbah pertama setelah beliau dibaiat menjadi khalifah “Apabila aku berbuat baik, bantulah aku; tapi apabila aku berbuat buruk, maka luruskanlah jalanku”.
B. Khalifah Umar bin Khattab
1. Dekat dan memerhatikan dengan seksama kondisi kehidupan umat.
Menjadi kebiasaannya keluar di malam hari hanya untuk mengetahui persis keadaan umat. Khalifah Umar sering berkeliling tanpa diketahui orang untuk me¬ngetahui kehidupan rakyat terutama mereka yang hidup sengsara. Dengan pundaknya sendiri ia memikul gandum yang hendak di¬berikan sebagai bantuan kepada seorang janda yang sedang dita¬ngisi oleh anak-anaknya yang kelaparan. Ketika mengetahui keadaan si ibu dan anak yang sudah kelaparan, Khalifah Umar merasa bahwa kelaparan yang dialami oleh keluarga miskin tersebut adalah disebabkan karena kelalaiannya dan ketidakmampuannya memberikan keadilan terhadap semua lapisan masyarakat, oleh karena itu, langkah pertama yang beliau lakukan adalah menyelesaikan masalah yang dialami oleh sang ibu dengan memberikan makanan kepadanya.
Kualitas kepemimpinan Umar bin Khatthab adalah cermin dari kualitas pemimpin umat yang bijak, arif, dan adil. Beliau ikut merasakan penderitaan rakyatnya.
2. Memiliki jiwa yang besar dalam menerima kritikan dari rakyat yang dipimpinnya.
Keikhlasan menerima kritikan adalah sebuah sikap yang sangat sulit untuk diwujudkan terlepas dari posisi sosialnya. Pernah pada suatu peristiwa Salman al Farisi membuat perhitungan dengan Khalifah Umar bin Khattab di hadapan orang banyak, yaitu ketika ia melihat Umar mengenakan baju yang bahannya terdiri atas dua kali lipat yang menjadi bagian satu orang rakyat biasa dari bahan yang sama. Maka, Umar meminta kepada putranya, Abdullah agar menjelaskan hal itu. Abdullah langsung bersaksi bahwa ia telah memberikan bagiannya itu kepada ayahandanya.
C. Khalifah Utsman bin Affan
1. Khalifah Utsman bin Affan terkenal dermawan. Sifat-sifat kedermawanan yang dimiliki Utsman sebelum menjadi khalifah masih terbawa ketika dia menjadi khalifah.
2. Khalifah Utsman bin Affan bertindak profesional dalam mengangkat wali-wali negeri untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya, hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Khalifah Utsman bin Affan semakin luas. Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah tersebut.
D. Khalifah Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib terkenal berani dan tegas dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya menegakkan keadilan, menjalankan undang-undang Allah SWT, dan menindak segala macam kezaliman dan kejahatan.
Para
pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan ketiga
puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah mengawal
Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah. Namun kekuatan yang
sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos masuk dan
membunuh Khalifah Utsman.
Setelah
Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib
sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa
pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa
sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah
menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang
diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan
terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang
dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya
kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di
antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak
lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah,
Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh
Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah
ditumpahkan secara zhalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari
perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau
berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan
tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar.
Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam
pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya.
Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim
kembali ke Madinah.
Bersamaan
dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan
timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang
didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan
kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan
Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus
dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan
Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan
nama Perang Shiffin.
Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata
tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan
ketiga, kaum Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali.
Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam
terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah
(pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan
tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali).
Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij
menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin
kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah
seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Daftar Pustaka
Al Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan. 1993.
As’ad, Mahrus. Ayo Mengenal Sejarah Kebudayaan Islam. Bandung: Penerbit Erlangga. 2009.
Ismail, Faisal. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: CV Bina Usaha. 1983.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru. 2003.
Al Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan. 1993.
As’ad, Mahrus. Ayo Mengenal Sejarah Kebudayaan Islam. Bandung: Penerbit Erlangga. 2009.
Ismail, Faisal. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: CV Bina Usaha. 1983.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru. 2003.
(Sumber: michelleadershipcentre.com)
http://oman789.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar
silahkan komen ya